16 Oktober 2009

Bahasa Selingkung Seyogianya Taat Asas

Oleh D.Dj. Kliwantoro*

Bahasa sekitar lingkungan (selingkung) yang tumbuh di media massa berbahasa Indonesia, dalam mereka cipta suatu istilah dengan mengadopsi kosakata dari bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun asing, seyogianya taat asas.

Taat asas ini suatu keniscayaan agar pembaca yang notabene masyarakat tidak dibuat bingung dengan kosakata yang makna dan penulisannya berbeda-beda.

Munculnya perbedaan itu karena orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pers adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang multilingual dan multikultural.

Di lain pihak, keberagaman ini sekaligus sebagai objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan media massa dalam menyerap kosakata bahasa daerah.

Namun, dalam pengindonesiaan istilah, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, media massa tetap taat asas. Atau, mematuhi ketentuan yang termaktub di dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 0543a/U/1987 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Dengan demikian, bahasa selingkung (kosakata hasil serapan dari bahasa lain yang dikodifikasikan oleh media massa berbahasa Indonesia) tidak ada perbedaan antara media massa yang satu dengan yang lain.

Bahasa selingkung ini dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia karena kodifikasi kosakata oleh media massa ini belum ada padanannya, atau belum ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Namun, bila kosakata itu sudah ada di dalam KBBI, bahasa selingkung harus tunduk dan patuh terhadap kaidah bahasa Indonesia. Jangan malah sebaliknya, tetap "keukeuh" (tetap pada pendirian) dengan kebenarannya sendiri dan mengabaikan kebenaran yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah.

Sebagai contoh penulisan Ramadan, salat, Cina, Idulftri, Iduladha, wali kota, ibu kota, dan sebagainya masih ditemukan bentuk kembaran dari kosakata tersebut. Sebagian media massa tetap "keukeuh" menulis Ramadhan, shalat/sholat, China, Idul Fitri, Idul Adha, walikota, dan ibukota.

Bahkan, tidak hanya media massa, dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1 (vide hlm.21) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa pun penulisan wali kota dirangkai. Padahal, lema ini termasuk gabungan kata, bukan sebuah kata.

Kodrati Bahasa

Selain itu, media massa perlu memperhatikan sifat kodrati bahasa. Masalahnya bahasa yang hidup di tengah masyarakat tidak bisa menghindari hukum asimilasi.

Tak pelak, bila suatu norma bahasa dapat berubah, atau menyesuaikan diri dengan kemauan pemakai bahasa. Dan, potensi ini cukup besar terjadi di Tanah Air yang memiliki sedikitnya 746 bahasa daerah dan penduduknya tersebar di 17.504 pulau.

Pergeseran makna kata akibat proses asimilasi di masyarakat Indonesia yang tergolong multilingual dan multikultur ini--bisa dikatakan--sesuatu yang wajar, kemudian melahirkan kata-kata bermakna ganda (ambigu).

Makna kata hasil kesepakatan (konvensi) di suatu daerah, terkadang tidak sama artinya dengan kosakata yang sudah dikodifikasikan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, dalam bentuk kamus.

Bahkan, kata ambigu ini sempat berpengaruh terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2009.

Jargon "SBY Berboedi" yang artinya "Susilo Bambang Yudhoyono bersama Boediono", tidak bertahan lama muncul di media massa. Kemungkinan karena kata "berbudi" dalam bahasa Palembang ini berkonotasi negatif, yakni "pembohong".

Sementara itu, di dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi IV bermakna: mempunyai budi; mempunyai kebijaksanaan; berakal; berkelakuan baik; murah hati; baik hati.

Meity Taqdir Qotratillah, Kepala Subbidang Perkamusan dan Peristilahan pada Pusat Bahasa, dalam Seminar Nasional Bedah KBBI yang diselenggarakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat di Jakarta, belum lama ini, mengakui bahwa sebuah lema yang pada kamus edisi sebelumnya memiliki dua makna, boleh jadi pada edisi revisi lema tersebut mengalami tiga atau bahkan empat makna.

Kata ambigu lain yang maknanya bertolak belakang, seperti abstrak. Lema ini diartikan: tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala. Arti lainnya: ikhtisar (karangan, laporan, dsb.); ringkasan; inti.

Ragam Baku

Pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia ini tidak dapat dihindari oleh media massa berbahasa Indonesia.

Namun, yang tampaknya perlu disadari oleh insan pers bahwa bahasa jurnalistik itu adalah bahasa ragam resmi baku.

Oleh karena itu, pakar bahasa Indonesia, Dr. Jusuf Sjarif Badudu, menekankan bahwa bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca.

Dalam bukunya berjudul "Cakrawala Bahasa Indonesia II" (1992), J.S. Badudu mengemukakan bahwa bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, media massa yang kerap menggunakan istilah daerah ini sangat berpengaruh terhadap banyak-sedikitnya kosakata dari bahasa daerah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Selain faktor kekerapan menggunakan kosakata daerah, peneliti bahasa dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Adi Budiwiyanto, berpendapat bahwa jumlah penutur juga ikut menentukan.

Tidak mengherankan bila penutur bahasa Jawa yang jumlahnya mencapai 75.200.000 orang ini memberi kontribusi terbesar terhadap pengembangan kosakata nasional.

"Persentasenya mencapai 30,54," ujar Adi dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Dalam Konteks Keindonesiaan II di Mataram, 17-18 Juni 2009.

Bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya di atas 1.000.000 orang, yakni bahasa Sunda 27.000.000 orang, Melayu 20.000.000 orang, Madura 13.694.000 orang, 6.500.000 orang, Batak 5.150.000 orang, Bugis 4.000.000 orang, Bali 3.800.000 orang, Aceh 3.000.000 orang, Sasak 2.100.000 orang, Makassar 1.600.000 orang, Lampung 1.500.000 orang, dan Rejang 1.000.000 orang.

Peluang

Kebinekaan suku, agama, ras, dan multilingual yang melatarbelakangi pemakai bahasa, termasuk insan pers, merupakan peluang dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Namun, kesadaran akan keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia sebagai modal untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia ini belum sepenuhnya tertanam di dada anak bangsa.

Sebagai bukti, sejak Negara ini merdeka 64 tahun lalu, jumlah kata yang terdapat di dalam KBBI Pusba IV tercatat 90.049 lema.

Itu pun tidak sepenuhnya berasal dari bahasa daerah. Bahasa asing pun ikut memberikan sumbangan kepada bahasa Indonesia, terutama bahasa Inggris, Arab, dan Belanda. Padahal, bangsa kita memiliki 746 bahasa daerah yang tersebar di 33 provinsi.

Kendati demikian, jika dibandingkan dengan edisi sebelumnya, KBBI Pusba IV memuat lebih banyak lema (90.049 lema dan sublema serta 2.034 peribahasa).

Meity Taqdir Qotratillah memerinci, KBBI Edisi Kesatu (1988) semula memuat 62.100 lema, tiga tahun kemudian terbit KBBI Edisi Kedua (1991) yang memuat sekitar 72.000 lema, dan sepuluh tahun kemudian baru terbit KBBI Edisi Ketiga (2001) yang memuat sekitar 78.000 lema.

Diakui pula bahwa kamus selalu tertinggal dalam hal kelengkapan kosakata jika dibandingkan dengan keadaan setelah kamus diterbitkan.

Bahkan, sebelum kamus keluar dari percetakan pun kamus sudah tertinggal. Sering kali kata yang baru muncul atau perkembangan makna terakhir sebuah kata yang sangat populer terjadi setelah naskah kamus selesai disunting dan diset untuk dicetak.

Melihat kendala yang dihadapi oleh Pusat Bahasa, media massa mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, khususnya dalam menyebarluaskan kosakata yang berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, media massa senantiasa menambah jumlah kosakata dalam bahasa selingkungnya dengan mengadopsi kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Namun, dalam mereka cipta suatu istilah ini, media massa tetap taat asas agar tidak ada perbedaan, khususnya dalam penulisan kata.

Di lain pihak, Pusat Bahasa melalui Balai Bahasa Provinsi memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan bahasa selingkung di masing-masing media massa, kemudian menginventarisasi lema dari bahasa selingkung ini, terutama kosakata yang berkaitan dengan budaya di Indonesia.

Kosakata dari bahasa selingkung yang telah dikodifikasi oleh Balai Bahasa Provinsi ini, selanjutnya diseleksi oleh Pusat Bahasa untuk dimasukkan ke dalam kamus edisi mendatang. *Pemerhati bahasa Indonesia.

Tidak ada komentar: