16 Oktober 2009

Bahasa Selingkung Seyogianya Taat Asas

Oleh D.Dj. Kliwantoro*

Bahasa sekitar lingkungan (selingkung) yang tumbuh di media massa berbahasa Indonesia, dalam mereka cipta suatu istilah dengan mengadopsi kosakata dari bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun asing, seyogianya taat asas.

Taat asas ini suatu keniscayaan agar pembaca yang notabene masyarakat tidak dibuat bingung dengan kosakata yang makna dan penulisannya berbeda-beda.

Munculnya perbedaan itu karena orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pers adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang multilingual dan multikultural.

Di lain pihak, keberagaman ini sekaligus sebagai objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan media massa dalam menyerap kosakata bahasa daerah.

Namun, dalam pengindonesiaan istilah, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, media massa tetap taat asas. Atau, mematuhi ketentuan yang termaktub di dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 0543a/U/1987 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.

Dengan demikian, bahasa selingkung (kosakata hasil serapan dari bahasa lain yang dikodifikasikan oleh media massa berbahasa Indonesia) tidak ada perbedaan antara media massa yang satu dengan yang lain.

Bahasa selingkung ini dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia karena kodifikasi kosakata oleh media massa ini belum ada padanannya, atau belum ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Namun, bila kosakata itu sudah ada di dalam KBBI, bahasa selingkung harus tunduk dan patuh terhadap kaidah bahasa Indonesia. Jangan malah sebaliknya, tetap "keukeuh" (tetap pada pendirian) dengan kebenarannya sendiri dan mengabaikan kebenaran yang sudah ditetapkan oleh Pemerintah.

Sebagai contoh penulisan Ramadan, salat, Cina, Idulftri, Iduladha, wali kota, ibu kota, dan sebagainya masih ditemukan bentuk kembaran dari kosakata tersebut. Sebagian media massa tetap "keukeuh" menulis Ramadhan, shalat/sholat, China, Idul Fitri, Idul Adha, walikota, dan ibukota.

Bahkan, tidak hanya media massa, dalam Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1 (vide hlm.21) yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa pun penulisan wali kota dirangkai. Padahal, lema ini termasuk gabungan kata, bukan sebuah kata.

Kodrati Bahasa

Selain itu, media massa perlu memperhatikan sifat kodrati bahasa. Masalahnya bahasa yang hidup di tengah masyarakat tidak bisa menghindari hukum asimilasi.

Tak pelak, bila suatu norma bahasa dapat berubah, atau menyesuaikan diri dengan kemauan pemakai bahasa. Dan, potensi ini cukup besar terjadi di Tanah Air yang memiliki sedikitnya 746 bahasa daerah dan penduduknya tersebar di 17.504 pulau.

Pergeseran makna kata akibat proses asimilasi di masyarakat Indonesia yang tergolong multilingual dan multikultur ini--bisa dikatakan--sesuatu yang wajar, kemudian melahirkan kata-kata bermakna ganda (ambigu).

Makna kata hasil kesepakatan (konvensi) di suatu daerah, terkadang tidak sama artinya dengan kosakata yang sudah dikodifikasikan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, dalam bentuk kamus.

Bahkan, kata ambigu ini sempat berpengaruh terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2009.

Jargon "SBY Berboedi" yang artinya "Susilo Bambang Yudhoyono bersama Boediono", tidak bertahan lama muncul di media massa. Kemungkinan karena kata "berbudi" dalam bahasa Palembang ini berkonotasi negatif, yakni "pembohong".

Sementara itu, di dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi IV bermakna: mempunyai budi; mempunyai kebijaksanaan; berakal; berkelakuan baik; murah hati; baik hati.

Meity Taqdir Qotratillah, Kepala Subbidang Perkamusan dan Peristilahan pada Pusat Bahasa, dalam Seminar Nasional Bedah KBBI yang diselenggarakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat di Jakarta, belum lama ini, mengakui bahwa sebuah lema yang pada kamus edisi sebelumnya memiliki dua makna, boleh jadi pada edisi revisi lema tersebut mengalami tiga atau bahkan empat makna.

Kata ambigu lain yang maknanya bertolak belakang, seperti abstrak. Lema ini diartikan: tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala. Arti lainnya: ikhtisar (karangan, laporan, dsb.); ringkasan; inti.

Ragam Baku

Pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia ini tidak dapat dihindari oleh media massa berbahasa Indonesia.

Namun, yang tampaknya perlu disadari oleh insan pers bahwa bahasa jurnalistik itu adalah bahasa ragam resmi baku.

Oleh karena itu, pakar bahasa Indonesia, Dr. Jusuf Sjarif Badudu, menekankan bahwa bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca.

Dalam bukunya berjudul "Cakrawala Bahasa Indonesia II" (1992), J.S. Badudu mengemukakan bahwa bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, media massa yang kerap menggunakan istilah daerah ini sangat berpengaruh terhadap banyak-sedikitnya kosakata dari bahasa daerah yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.

Selain faktor kekerapan menggunakan kosakata daerah, peneliti bahasa dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Adi Budiwiyanto, berpendapat bahwa jumlah penutur juga ikut menentukan.

Tidak mengherankan bila penutur bahasa Jawa yang jumlahnya mencapai 75.200.000 orang ini memberi kontribusi terbesar terhadap pengembangan kosakata nasional.

"Persentasenya mencapai 30,54," ujar Adi dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Dalam Konteks Keindonesiaan II di Mataram, 17-18 Juni 2009.

Bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya di atas 1.000.000 orang, yakni bahasa Sunda 27.000.000 orang, Melayu 20.000.000 orang, Madura 13.694.000 orang, 6.500.000 orang, Batak 5.150.000 orang, Bugis 4.000.000 orang, Bali 3.800.000 orang, Aceh 3.000.000 orang, Sasak 2.100.000 orang, Makassar 1.600.000 orang, Lampung 1.500.000 orang, dan Rejang 1.000.000 orang.

Peluang

Kebinekaan suku, agama, ras, dan multilingual yang melatarbelakangi pemakai bahasa, termasuk insan pers, merupakan peluang dalam pengembangan bahasa Indonesia.

Namun, kesadaran akan keanekaragaman kebudayaan bangsa Indonesia sebagai modal untuk memperkaya khazanah bahasa Indonesia ini belum sepenuhnya tertanam di dada anak bangsa.

Sebagai bukti, sejak Negara ini merdeka 64 tahun lalu, jumlah kata yang terdapat di dalam KBBI Pusba IV tercatat 90.049 lema.

Itu pun tidak sepenuhnya berasal dari bahasa daerah. Bahasa asing pun ikut memberikan sumbangan kepada bahasa Indonesia, terutama bahasa Inggris, Arab, dan Belanda. Padahal, bangsa kita memiliki 746 bahasa daerah yang tersebar di 33 provinsi.

Kendati demikian, jika dibandingkan dengan edisi sebelumnya, KBBI Pusba IV memuat lebih banyak lema (90.049 lema dan sublema serta 2.034 peribahasa).

Meity Taqdir Qotratillah memerinci, KBBI Edisi Kesatu (1988) semula memuat 62.100 lema, tiga tahun kemudian terbit KBBI Edisi Kedua (1991) yang memuat sekitar 72.000 lema, dan sepuluh tahun kemudian baru terbit KBBI Edisi Ketiga (2001) yang memuat sekitar 78.000 lema.

Diakui pula bahwa kamus selalu tertinggal dalam hal kelengkapan kosakata jika dibandingkan dengan keadaan setelah kamus diterbitkan.

Bahkan, sebelum kamus keluar dari percetakan pun kamus sudah tertinggal. Sering kali kata yang baru muncul atau perkembangan makna terakhir sebuah kata yang sangat populer terjadi setelah naskah kamus selesai disunting dan diset untuk dicetak.

Melihat kendala yang dihadapi oleh Pusat Bahasa, media massa mempunyai peranan besar dalam pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia, khususnya dalam menyebarluaskan kosakata yang berasal dari bahasa daerah dan bahasa asing. Oleh karena itu, media massa senantiasa menambah jumlah kosakata dalam bahasa selingkungnya dengan mengadopsi kata-kata dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Namun, dalam mereka cipta suatu istilah ini, media massa tetap taat asas agar tidak ada perbedaan, khususnya dalam penulisan kata.

Di lain pihak, Pusat Bahasa melalui Balai Bahasa Provinsi memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan bahasa selingkung di masing-masing media massa, kemudian menginventarisasi lema dari bahasa selingkung ini, terutama kosakata yang berkaitan dengan budaya di Indonesia.

Kosakata dari bahasa selingkung yang telah dikodifikasi oleh Balai Bahasa Provinsi ini, selanjutnya diseleksi oleh Pusat Bahasa untuk dimasukkan ke dalam kamus edisi mendatang. *Pemerhati bahasa Indonesia.

19 Juli 2009

Pemboman atau Pengeboman?

Pascapengeboman di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Jumat (17/7), frekuensi pemakaian lema /bom/ meningkat. Bahkan, masing-masing media cetak bervariasi dalam menulis sublema dari kata dasar itu. Sebagai contoh:

1. Sejumlah Negara Kutuk Pemboman di Indonesia

2. Presiden Obama Kutuk Pengeboman di Jakarta

Morf pe(N)- pada sublema /pemboman/ tidak tepat. Karena entri /bom/ ini termasuk kata dasar bersuku satu, maka yang tepat adalah prefiks penge- dan menge- .

Alomorf pe(N)- : pe-, pem-, pen-, peng-, peny-, dan penge-

bom pengebom n 1 orang atau pesawat yg mengebom; 2 alat untuk mengebom;

pengeboman v penyerangan (penghancuran dsb.) dengan bom; proses, cara, perbuatan mengebom

Alomorf me(N)- : me-, mem-, men-, meng-, meny-, dan menge-

mengebom v melemparkan (menghancurkan dng bom);

15 Juli 2009

KBBI Pusba: Menyosialisasikan vs KBBI III: Mensosialisasikan

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV Pusat Bahasa--KBBI Pusba--sudah menganut rumus /k/, /p/, /t/, /s/. Fonem ini akan luluh bila digabungkan dengan prefiks me(N)- atau pe (N)-. Sebagai contoh: entri /sosialisasi/. Semula KBBI Edisi III tidak meluluhkan huruf /s/, yakni tetap: /mensosialisasikan/ (vide KBBI III, hlm.1085) . Namun, di dalam KBBI Pusba kata turunan ini ditulis: /menyosialisasikan/ (vide KBBI Pusba, hlm.1331).

so·si·a·li·sa·si n 1 usaha untuk mengubah milik perseorangan menjadi milik umum (milik negara): tradisi tidak memperlancar proses sosialisasi perusahaan milik keluarga; 2 proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya: tingkat-tingkat permulaan dari proses sosialisasi manusia itu terjadi dalam lingkungan keluarga; 3 upaya memasyarakatkan sesuatu sehingga menjadi dikenal, dipahami, dihayati oleh masyarakat; pemasyarakatan;

me.nyo·si·a·li·sa· si v melakukan sosialisasi; memasyarakatkan (sesuatu yg baru dsb.);

me.nyo·si·a·li·sa· si·kan v 1 menjadikan milik umum (milik negara); menjadikan, memperlakukan secara sosialisme; 2 membelajarkan seseorang menjadi anggota masyarakat;

ber·so·si·a·li·sa· si v melakukan sosialisasi: acara rekreasi itu merupakan salah satu kesempatan bagi anak-anak berkelainan untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

Konjungsi Korelatif

Nilai puisi-puisi Sapardi tidak terletak pada apa yang dituturkan, melainkan bagaimana menuturkannnya. (Majalah Tempo Edisi 13-19 Juli 2009, hlm. 78).

Penggunaan kata berpasangan /tidak … melainkan .../ dalam kalimat di atas tidak tepat. Yang tepat /tidak … tetapi .../ atau /bukan … melainkan .../. Konjungsi korelatif lainnya, seperti /baik … maupun .../, /antara … dan …/. Jadi, penggunaan kata berpasangan /antara … dengan .../, /antara … sampai .../, dan /antara ... hingga .../ tidak tepat.

01 September 2008

Kosakata pada Bulan Ramadan

Kosakata yang merupakan serapan dari kata bahasa Arab, seperti Ramadan,Tarawih, hijriah, Alquran, Nuzulul Quran, dan takwa, frekuensi pemakaiannya meningkat pada bulan Ramadan 1429 Hijriah ini. Versi KBBI Daring menuliskan kosakata itu sebagai berikut:

Ra·ma·dan n bulan ke-9 tahun Hijriah(29 atau 30 hari), pd bulan ini orang Islam diwajibkan berpuasa.

Ta·ra·wih n salat sunah pd malam hari (sesudah Isya, sebelum Subuh) pd bulan Ramadan (bulan puasa);

ber·ta·ra·wih v melakukan salat Tarawih

(konsonan /s/ ditulis dengan huruf kecil, red.)

ra·ka·at n bagian dr salat (satu kali berdiri, satu kali rukuk, dan dua kali sujud): salat Subuh dua --; salat Magrib tiga –

tak·bi·ra·tul·ih·ram Ar n takbir yg diucapkan pd awal salat

1bak·dap sesudah: -- magrib; -- haji; -- gajah waktu sesudah subuh

tak·jil v Isl mempercepat (dl berbuka puasa)

Al·qur·an n kitab suci umat Islam yg berisi firman Allah yg diturunkan kpd Nabi Muhammad saw. dng perantaraan malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan sbg petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia

Qur·an n Alquran

Nu·zu·lul Qur·an n Isl turunnya (wahyu) Alquran pertama kali kpd Nabi Muhammad saw. ketika beliau menyepi di Gua Hira pd tanggal 17 Ramadan pd usia beliau yg ke-40 tahun

1tak·wan 1 terpeliharanya diri untuk tetap taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; 2 keinsafan diri yg diikuti dng kepatuhan dan ketaatan dl melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya; 3 kesalehan hidup; ber·tak·wa v menjalankan takwa; ke·tak·wa·an n perihal takwa

1tak·bir n Isl seruan atau ucapan Allahu Akbar 'Allah Mahabesar': menjelang Idulfitri dan Idhuladha orang mengumandangkan --; tak·bir·an n pujian kpd Allah dng menyerukan takbir

Idul·fit·ri n hari raya umat Islam yg jatuh pd tanggal 1 Syawal setelah selesai menjalankan ibadah puasa selama sebulan.

(penulisan Idulfitri dirangkai karena merupakan sebuah kata, red.)

1idn hari raya; perayaan: salat –

(penulisan salat id dengan huruf kecil, red.)

hij·ri·ah a 1 berhubungan dng hijrah; 2 berkenaan dng tarikh Islam yg dimulai ketika Nabi Muhammad saw. berpindah ke Medinah: tahun –

ha·lal·bi·ha·lal n hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang: -- merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia; ber·ha·lal·bi·ha·lalv bermaaf-maafan pd Lebaran: pd Lebaran kita ~ dng segenap sanak keluarga dan handai tolan.

(penulisan halalbihalal dirangkai karena bukan gabungan kata, red.)

ke·tu·pat n makanan, dibuat dr beras yg dimasukkan ke dl anyaman pucuk daun kelapa, berbentuk kantong segi empat dsb, kemudian direbus, dimakan sbg pengganti nasi; -- bangkahulu ketupat bengkulu; -- bengkulu cak kepalan tangan; tinju.

29 Agustus 2008

Ramadan Versus Ramadhan

Menjelang bulan Ramadan 1429 Hijriah, media massa, baik cetak, online, maupun elektronik (teks dalam televisi,red.) dalam menulis kata Ramadan bervariasi. Salah satu surat kabar ternama terbitan Jakarta menuliskannya [Ramadhan], sementara sejumlah harian di Jawa Timur menuliskannya Ramadan tanpa huruf /h/ sebelum huruf /d/.

Jika kita menulis Ramadan di Google (Jumat, 29 Agustus 2008, pukul 15.55 WIB), mesin pencari ini selain menampilkan tulisan [Urutan 1 - 10 dari sekitar 11,300,000 hasil penelusuran untuk Ramadan] juga memunculkan tulisan [Mungkin maksud Anda adalah: Ramadhan]. Tulisan ini tidak akan muncul bila kita menulis Ramadhan. Mesin pencari ini memberi tahu kepada kita dengan tulisan [Urutan 1 - 10 dari sekitar 3,820,000 hasil penelusuran untuk Ramadhan].

Versi KBBI Daring sebagai berikut :

Ra·ma·dann bulan ke-9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pd bulan ini orang Islam diwajibkan berpuasa

25 Agustus 2008

Huruf /f/ dan /p/ pada Nafsu dan Napas

Huruf /p/dan /f/ sering digunakan terbalik pada kata nafsu dan napas. Surat kabar, majalah, portal berita, dan teks film pada media elektronik (televisi) sering menuliskan kata napas dengan [nafas] dan nafsu dengan [napsu]. KBBI Daring menganjurkan penulisannya sebagai berikut:

naf·su n 1keinginan (kecenderungan, dorongan) hati yg kuat: krn kecewa, -- nya untuk belajar mulai berkurang; 2 dorongan hati yg kuat untuk berbuat kurang baik; hawa nafsu: tidak mungkin hal baik itu dilakukan tanpa melawan -- pribadi; 3 selera; gairah atau keinginan (makan): ikan asin dan sayur asam menambah -- makan; 4 panas hati; marah; meradang: -- nya meluap ketika melihat saingannya itu; -- nafsi, raja di mata, sultan di hati, pb berbuat sekehendak hati sendiri; -- amarah 1 dorongan batin untuk berbuat yg kurang baik, terutama marah;2 kemarahan; panas hati; -- iblis dorongan batin untuk melakukan tindakan yg mengarah pd kemaksiatan atau kejahatan; -- lawamah dorongan batin untuk mengikuti jalan kebaikan dan kebenaran; -- mutmainah dorongan batin untuk mempertahankan diri dr segala kejahatan krn selalu ingat kpd Allah; -- radiah dorongan batin yg diridai Allah Swt.; -- setan nafsu iblis; -- tabiat ark naluri; insting; ber·naf·su v mempunyai keinginan (dorongan atau gairah hati); ada nafsu; dng nafsu: aku jadi ~ untuk mengusutnya; tidak ~ membeli barang yg mahal-mahal; ia tidak ~ lagi bekerja di kantor itu

na·pas n udara yg diisap melalui hidung atau mulut dan dikeluarkan kembali dr paru-paru: -- nya sesak; -- nya senin kamis, cak sulit bernapas; tersengal-sengal; mengap-mengap (spt orang yg hampir mati); ber·na·pas v mengisap dan mengeluarkan napas: akhirnya ia dapat ~ dng leluasa setelah berhasil keluar dr ruangan yg penuh asap itu; ~ ke luar badan, pb lebih percaya pd pendapat orang lain dp percaya pd pendapat sendiri; ber·na·pas·kan v ki mengandung sifat; menyuarakan: cerita yg ~ keislaman; me·na·pas·kan v mengeluarkan napas; per·na·pas·an n 1 hal bernapas: alat ~ , alat untuk bernapas; uap air panas bisa mengganggu alat ~; 2 penggunaan energi di dl karbohidrat oleh makhluk hidup; se·na·pas n ki sejalan (mempunyai pikiran, teori) yg sama: semua pendapatnya ~ dng teori Kant

06 Agustus 2008

HUT Ke-63 RI

Penulisan ucapan "Selamat Ulang Tahun Republik Indonesia" bila kita perhatikan dengan cermat sangat bervariasi. Menjelang peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2007, misalnya, ada yang menulis ["Dirgahayu RI Ke-62"], ["Dirgahayu HUT RI Ke-62"], ["HUT Ke LXII Kemerdekaan Indonesia"], dan ["HUT Ke-62 RI"].

Ungkapan yang tepat "DirgahayuRI" tanpa harus disertai ke-62 dan HUT. Kata dirgahayu(bahasa Sanskerta) bermakna 'panjang umur' atau 'berumur panjang'. Dengan demikian, bila katadirgahayu digabungkan dengan HUT bermakna 'selamat panjang umur HUT'. Padahal yang dimaksud dengan ungkapan itu adalah RI bukan HUT.

Begitu pula, penulisan kata bilangan tingkatan yang diletakan sesudah RI (RI ke-62) dapat menimbukan kesan bahwa RI seolah-olah berjumlah 62 atau mungkin lebih. Menjelang tanggal 17 Agustus 2008, kita berharap penulisan ungkapan itu tidak menimbulkan salah tafsir. Oleh karena itu, sebaiknya kita membaca Buku Praktis Bahasa Indonesia Jilid 1 yang diterbitkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta tahun 2003.

Penulisan ungkapan menjelang hari kemerdekaan RI pada tahun 2008 sebagai berikut: "Dirgahayu RI", "HUT Ke-63 RI", "HUT LXIII Kemerdekaan RI", "HUT Ke-63 Kemerdekaan RI", "Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia", dan "Dirgahayu Kemerdekaan Kita".

02 Juni 2008

Kata Diseminasi Tak Ada dalam KBBI

      Meski kata diseminasi ini ditemukan di Google (www.google.co.id) sekitar 139.000, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), baik versi cetak maupun internet, belum mencantumkan kata itu.

      Jika kita mencari kata itu melalui KBBI Daring, jawabannya,  "Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!". 

      Sementara itu, dalam Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko, halaman 159, penulisan kata dissemination (bahasa Inggris) menjadi diseminasi, artinya [distribusi, persebaran, sirkulasi].

29 Mei 2008

Frekuensi Pemakaian Kata Syur Meningkat

Frekuensi pemakaian kata syur pada akhir bulan Mei 2008 meningkat. Sejak beredarnya foto Max Moein, anggota DPR RI, di internet, media massa, baik cetak maupun online, menggunakan kata itu sebagai judul berita. Misalnya, Suara Merdeka, Edisi Sabtu Pahing, 24 Mei 2008 memilih judul  [Foto Syur Wakil Rakyat Beredar], Batam Cyber Zone dengan judul [Heboh Pose Syur Anggota DPR RI],  dan media massa lainnya.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  kata syur berada pada halaman 1115. KBBI mengartikan kata ini sebagai berikut.

 1syurark a 1 sangat menarik hati: jalannya dibuat-buat supaya -- bagi yg memandangnya; 2 sangat tertarik hatinya; sangat suka (akan)

2syurn saran; nasihat; anjuran: jangan sia-siakan -- orang tuamu;
men·syur·kan v menyarankan; menganjurkan: pemimpin organisasi tsb - supaya para anggotanya lebih aktif

Walikota atau Wali Kota; Ibukota atau Ibu Kota?

Saya sempat bingung, ada dua cara penulisan kosa kata itu. Yang pertama, versi Buku Praktis Bahasa Indonesia,  kosa kata itu masuk kategori sebuah kata (walikota dan ibukota). Yang kedua, versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kosa kata itu merupakan gabungan kata (wali kota dan ibu kota ). Kemudian, saya bertanya pada Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional melalui Layanan Informasi dan Administrasi Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). Saya mendapat jawaban dari Forum UKBI bahwa yang betul, wali kota dan ibu kota.

17 April 2008

Pondasi atau Fondasi?

Media massa selama ini tampak tidak seragam dalam menuliskan kata tersebut. Di satu pihak, ada yang menuliskannya dengan awal huruf “p”, di pihak lain ada pula yang menuliskannya dengan awal huruf “f”. Versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menganjurkan kepada kita menuliskannya dengan awal huruf “f”, yakni “fondasi”. Begitu pula, versi Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko menuliskannya dengan awal huruf “f”. Kata fondasi versi KBBI mengandung makna “dasar bangunan yang kuat, biasanya (terdapat) di bawah permukaan tanah tempat bangunan itu didirikan; fundamen”. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia, maknanya tidak sekadar “fundamen”, “dasar”, tetapi juga diartikan “alas”, “basis”, “batu tapakan”, ”landasan”, ”pilar”, “rukun”, “sendi”; “asas”.

07 April 2008

Film Fitna

Pemberitaan seputar film Fitna yang diproduksi oleh Geert Wilders, Ketua Fraksi Partai Kebebasan di parlemen Belanda, ini sempat menghiasi media massa kita.

Bila kita perhatikan secara saksama, penulisan Alquran (Quran) di media massa, khususnya yang memuat berita mengenai film berdurasi 17 menit itu, bervariasi.

Salah satu majalah terkemuka di Jakarta, Alquran ditulis [Al-Quran], sedangkan media cetak yang ada di Provinsi Jawa Tengah penulisannya sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Ketiga (2005), yakni Alquran.

06 April 2008

Penggunaan Imbuhan

Kata dasar yang penulisannya sering kurang tepat ketika diberi imbuhan gabungan, antara lain naik, tunjuk, dan kata yang di belakangnya huruf /k/ .

Misalnya, kata dasar naik mendapat imbuhan ke-an, ada yang menuliskannya [kenaikkan]. Padahal prefiks ke- tidak dapat bergabung dengan sufiks –kan.

Prefiks ke- hanya dapat bergabung dengan sufiks -an dan dengan –i pada kata ketahui.

Dengan demikian, penulisannya yang benar adalah kenaikan.

Jika kata dasar itu diberi imbuhan gabungan me-kan, ada juga yang menulis [menaikan]. Prefiks me-tidak dapat bergabung dengan sufiks –an. Penulisannya yang benar adalah menaikkan.

Kalau mendapat imbuhan di-kan menjadi dinaikkan.

Begitu pula, kata naik yang mendapat akhiran –kan menjadi naikkan.

Prefiks

Sisipan

Sufiks

Imbuhan Gabungan

ber-

-el-

-kan

ber-kan

per-

-em-

-i

ber-an

me-

-er-

-nya

di-kan

di-

di-i

ter-

diper-

ke-

diper-kan

se-

diper-i

pe-

ke-an

me-kan

me-i

memper-

memper-kan

memper-i

pe-an

per-an

per-kan

per-i

se-nya

ter-kan

ter-i