Blog Bahasa Indonesia: Liang Lahat atau Liang Lahad?

24 Maret 2008

Liang Lahat atau Liang Lahad?

Frekuensi pemakaian kata tersebut meningkat menyusul wafatnya mantan Presiden RI H.M. Soeharto pada hari Minggu (27/1) pukul 13.10 WIB. Kalau kita perhatikan dengan saksama, penulisan kata "liang lahat" di media massa lebih banyak daripada liang lahad. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menganjurkan kepada kita menuliskannya dengan akhiran huruf “d”, yakni lahad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kliwon dalam Karikatur

PROLOG

PROLOG

       Untuk mencapai target kualitatif dan kuantitatif, kita harus kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas.
       Pengalaman adalah guru yang terbaik sehingga kita perlu mempelajari kesalahan yang telah kita lakukan demi meraih sukses dunia dan sukses akhirat.
       Blog yang saya buat ini diilhami dengan kesalahan yang pernah saya lakukan ketika menulis karya jurnalistik selama 23 tahun terakhir ini.
       Jadi, Blog Bahasa Indonesia ini sekadar referensi bagi saya untuk mengurangi kesalahan dalam membuat kalimat. Namun, bila blog ini bermanfaat bagi pembaca, ya, alhamdulillah.

Kliwon yang merasa "tetap bodoh"

Kolom Bahasa

Bahasa Indonesia Terancam Dimarginalkan

Oleh D.Dj. Kliwantoro

Menjelang "100 Tahun Kebangkitan Nasional", 20 Mei 2008, eksistensi bahasa Indonesia terancam dimarginalkan oleh pewarisnya sendiri terkait masih munculnya gejala sindrom anak jajahan.
Pada awal masa kemerdekaan, di tengah masyarakat muncul istilah "kaum belandis". Mereka itu adalah kaum terpelajar yang masih suka hidup dalam gaya kebelanda-belandaan, termasuk dalam hal berbahasa.
Ahmad Tohari, budayawan peraih "SEA Write Award" (hadiah sastra ASEAN) tahun 1995, belum yakin gejala sindrom anak jajahan itu sekarang sudah hilang meski bangsa ini sudah merdeka lebih dari 62 tahun.
"Mungkin belum, dan hanya sedikit bergeser. Karena penjajah sekarang berbahasa Inggris, maka banyak orang termasuk kaum terpelajar suka keinggris-inggrisan secara kurang proporsional," kata penulis novel "Ronggeng Dukuh Paruk", yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, dan Jerman.
Pria kelahiran Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948, ini prihatin terhadap sebagian pebisnis yang sering memperlakukan bahasa Indonesia semena-mena. Iklan-iklan mereka banyak sekali yang menggunakan bahasa tidak baku. Bahkan, pemakaian bahasa asing intensitasnya makin hari makin tinggi.
Mereka terkadang memaksakan hukum DM (diterangkan-menerangkan) menjadi MD, misalnya nama Permata Bank. Padahal dulu pernah diubah menjadi Bank Permata agar sesuai dengan hukum DM, tetapi sekarang nama itu kembali ke Permata Bank, hanya penulisannya disatukan menjadi "PermataBank".
Tak hanya mereka yang berada di perkotaan, pebisnis kecil di kampung pun terpengaruh. Bahkan, mereka terkesan bangga menulis "Sarkem Salon", "Paijo VCD Rental", atau "Pailul Motor Service".
Begitu pula, pemakaian istilah "pelayan kantor" yang kini nyaris hilang karena orang lebih suka menyebut "office boy" atau "OB". Bahkan, di dunia pendidikan pun ada penggusuran kosakata atau istilah Indonesia asli. "Try out" dan "mid semester" adalah contoh dua istilah yang sebenarnya masih sangat terwakili oleh istilah "uji coba" dan "triwulan".
Terkait dengan pengindonesiaan nama dan kata asing ini pernah dilakukan pemerintahan H.M. Soeharto.
Meski bukan berupa keputusan Presiden (keppres), surat Menteri Dalam Negeri Nomor 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing yang ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota itu berjalan dengan baik.
Apalagi setelah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing" pada bulan Mei 1995, papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan di sejumlah kota di Tanah Air menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Dalam ketentuan itu juga masih diperbolehkan memakai bahasa asing, tetapi harus dituliskan di bagian bawah bahasa Indonesia dengan huruf Latin yang lebih kecil. Sebagai contoh Balai Sidang Jakarta di bawahnya ditulis "Jakarta Convention Center" dengan menggunakan huruf Latin yang lebih kecil.
"Itu menunjukkan kepedulian Pak Harto terhadap perkembangan bahasa Indonesia," kata Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono dalam seminar nasional yang diselenggarakan Balai Bahasa Jawa Tengah di Solo, belum lama ini.
Pemerintahan semasa Pak Harto, kata Dendy Sugono, juga memberikan kontribusi yang sangat signifikan, yakni dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972 tentang Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Kemudian, Mendikbud mengeluarkan keputusan Nomor 0543a Tahun 1987 tentang Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Kendati sejumlah regulasi itu bermaksud untuk memosisikan bahasa Indonesia di tempat yang terhormat, pada kenyataannya masih dijumpai pergusuran kosakata atau istilah Indonesia asli belakangan ini.
Kini, tampaknya bahasa Indonesia terancam dimarginalkan. Siapa kiranya yang akan menolong bahasa Indonesia dari peminggiran yang dilakukan oleh pewarisnya sendiri? Siapa lagi kalau bukan masyarakat Indonesia sendiri.
Oleh karena itu, bahasa Indonesia perlu mendapat perhatian dan kecintaan yang lebih besar dari masyarakat penggunanya.
Budayawan Ahmad Tohari lantas mengingatkan kepada anak bangsa agar tetap menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia.