Bahasa sekitar lingkungan (selingkung) yang tumbuh di media
Taat asas ini suatu keniscayaan agar pembaca yang notabene masyarakat tidak dibuat bingung dengan kosakata yang makna dan penulisannya berbeda-beda.
Munculnya perbedaan itu karena orang-orang yang berkecimpung dalam dunia pers adalah bagian dari masyarakat
Di lain pihak, keberagaman ini sekaligus sebagai objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan media
Namun, dalam pengindonesiaan istilah, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing, media
Dengan demikian, bahasa selingkung (kosakata hasil serapan dari bahasa lain yang dikodifikasikan oleh media
Bahasa selingkung ini dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia karena kodifikasi kosakata oleh media
Namun, bila kosakata itu sudah ada di dalam KBBI, bahasa selingkung harus tunduk dan patuh terhadap kaidah bahasa
Sebagai contoh penulisan Ramadan, salat, Cina, Idulftri, Iduladha, wali
Bahkan, tidak hanya media
Kodrati Bahasa
Selain itu, media
Tak pelak, bila suatu norma bahasa dapat berubah, atau menyesuaikan diri dengan kemauan pemakai bahasa. Dan, potensi ini cukup besar terjadi di Tanah Air yang memiliki sedikitnya 746 bahasa daerah dan penduduknya tersebar di 17.504 pulau.
Pergeseran makna kata akibat proses asimilasi di masyarakat
Makna kata hasil kesepakatan (konvensi) di suatu daerah, terkadang tidak sama artinya dengan kosakata yang sudah dikodifikasikan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, dalam bentuk kamus.
Bahkan, kata ambigu ini sempat berpengaruh terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden 2009.
Jargon "SBY Berboedi" yang artinya "Susilo Bambang Yudhoyono bersama Boediono", tidak bertahan lama muncul di media
Sementara itu, di dalam KBBI Pusat Bahasa Edisi IV bermakna: mempunyai budi; mempunyai kebijaksanaan; berakal; berkelakuan baik; murah hati; baik hati.
Meity Taqdir Qotratillah, Kepala Subbidang Perkamusan dan Peristilahan pada Pusat Bahasa, dalam Seminar Nasional Bedah KBBI yang diselenggarakan Forum Bahasa Media Massa (FBMM) Pusat di Jakarta, belum lama ini, mengakui bahwa sebuah lema yang pada kamus edisi sebelumnya memiliki dua makna, boleh jadi pada edisi revisi lema tersebut mengalami tiga atau bahkan empat makna.
Kata ambigu lain yang maknanya bertolak belakang, seperti abstrak. Lema ini diartikan: tidak berwujud; tidak berbentuk; mujarad; niskala. Arti lainnya: ikhtisar (karangan, laporan, dsb.); ringkasan; inti.
Ragam Baku
Pengaruh bahasa daerah dan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia ini tidak dapat dihindari oleh media
Namun, yang tampaknya perlu disadari oleh insan pers bahwa bahasa jurnalistik itu adalah bahasa ragam resmi
Oleh karena itu, pakar bahasa Indonesia, Dr. Jusuf Sjarif Badudu, menekankan bahwa bahasa jurnalistik harus tunduk pada kaidah bahasa yang telah dibakukan, baik kaidah tata bahasa, kaidah ejaan, maupun tanda baca.
Dalam bukunya berjudul "Cakrawala Bahasa Indonesia II" (1992), J.S. Badudu mengemukakan bahwa bahasa jurnalistik juga harus menggunakan kata atau istilah yang sama maknanya dengan yang ditetapkan di dalam kamus.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa, media
Selain faktor kekerapan menggunakan kosakata daerah, peneliti bahasa dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Adi Budiwiyanto, berpendapat bahwa jumlah penutur juga ikut menentukan.
Tidak mengherankan bila penutur bahasa Jawa yang jumlahnya mencapai 75.200.000 orang ini memberi kontribusi terbesar terhadap pengembangan kosakata nasional.
"Persentasenya mencapai 30,54," ujar Adi dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Dalam Konteks Keindonesiaan II di Mataram, 17-18 Juni 2009.
Bahasa daerah lain yang jumlah penuturnya di atas 1.000.000 orang, yakni bahasa Sunda 27.000.000 orang, Melayu 20.000.000 orang, Madura 13.694.000 orang, 6.500.000 orang, Batak 5.150.000 orang, Bugis 4.000.000 orang, Bali 3.800.000 orang, Aceh 3.000.000 orang, Sasak 2.100.000 orang, Makassar 1.600.000 orang, Lampung 1.500.000 orang, dan Rejang 1.000.000 orang.
Peluang
Kebinekaan suku, agama, ras, dan multilingual yang melatarbelakangi pemakai bahasa, termasuk insan pers, merupakan peluang dalam pengembangan bahasa
Namun, kesadaran akan keanekaragaman kebudayaan bangsa
Sebagai bukti, sejak Negara ini merdeka 64 tahun lalu, jumlah kata yang terdapat di dalam KBBI Pusba IV tercatat 90.049 lema.
Itu pun tidak sepenuhnya berasal dari bahasa daerah. Bahasa asing pun ikut memberikan sumbangan kepada bahasa
Kendati demikian, jika dibandingkan dengan edisi sebelumnya, KBBI Pusba IV memuat lebih banyak lema (90.049 lema dan sublema serta 2.034 peribahasa).
Meity Taqdir Qotratillah memerinci, KBBI Edisi Kesatu (1988) semula memuat 62.100 lema, tiga tahun kemudian terbit KBBI Edisi Kedua (1991) yang memuat sekitar 72.000 lema, dan sepuluh tahun kemudian baru terbit KBBI Edisi Ketiga (2001) yang memuat sekitar 78.000 lema.
Diakui pula bahwa kamus selalu tertinggal dalam hal kelengkapan kosakata jika dibandingkan dengan keadaan setelah kamus diterbitkan.
Bahkan, sebelum kamus keluar dari percetakan pun kamus sudah tertinggal. Sering kali kata yang baru muncul atau perkembangan makna terakhir sebuah kata yang sangat populer terjadi setelah naskah kamus selesai disunting dan diset untuk dicetak.
Melihat kendala yang dihadapi oleh Pusat Bahasa, media
Namun, dalam mereka cipta suatu istilah ini, media
Di lain pihak, Pusat Bahasa melalui Balai Bahasa Provinsi memperhatikan perkembangan dan pertumbuhan bahasa selingkung di masing-masing media massa, kemudian menginventarisasi lema dari bahasa selingkung ini, terutama kosakata yang berkaitan dengan budaya di Indonesia.
Kosakata dari bahasa selingkung yang telah dikodifikasi oleh Balai Bahasa Provinsi ini, selanjutnya diseleksi oleh Pusat Bahasa untuk dimasukkan ke dalam kamus edisi mendatang.
*Pemerhati bahasa Indonesia.